Review Buku Kecil-Kecil Pemberani
www.mikromediateknologi.com - Apa yang membuat anak-anak jadi pemberani? Simak kisah serunya anak-anak di kumpulan cerita anak "Kecil-kecil Pemberani" buku ini cocok untuk dibacakan di rumah atau di perpusatakaan sekolah, kisah serunya menambah semangat baca.
Kumpulan Cerita Anak Kecil-kecil Pemberani
Abian
Karya: Nurul Chusna
Sore itu seperti biasa Abian bersiap hendak pergi ke musala untuk mengaji. Selesai mandi dan mengenakan baju koko, diambilnya tas selempang yang tergantung di belakang pintu kamar. Tas itu berisi buku tulis, buku Iqra, pensil, dan penghapus. Abian pun berpamitan kepada ibunya.
“Abi pergi ngaji dulu ya, Bu!” kata Abi sambil mencium tangan ibunya.
“Baca doa keluar rumah dulu, ya.” Ibu mengingatkan Abian. “Hati-hati di jalan. Selesai mengaji langsung pulang ya, Nak. Bantu Ibu untuk membungkus keripik!” pesan ibunya.
“Baik, Bu!” Abian menjawab dengan penuh semangat.
Anak laki-laki berusia 6 tahun itu rajin membantu ibunya. Abian hanya tinggal bersama ibu dan seorang adik perempuan yang berusia 3 tahun. Walaupun belum sekolah, dia rajin pergi ke musala untuk belajar mengaji. Ibunya membuat kue dan keripik pisang atau singkong untuk dijual. Abian sudah terbiasa membantu ibunya memasukkan keripik yang sudah matang ke plastik.
Sekolah Baruku
Karya: Sri Adnin
Besok hari yang sangat menakutkan bagi Andi karena harus berpisah dengan ibunya untuk beberapa saat. Ia merasa waktu akan berjalan lambat. Detik ke menit seakan tidak bergerak. Membayangkannya saja Andi merasa takut dan ingin menangis, lalu bagaimana dengan besok?
Bagi Andi anak berusia lima tahun itu, awal masuk sekolah adalah hal yang paling menakutkan. Takut dengan teman baru, takut guru atau orang dewasa baru lain, dan yang lebih menakutkan tidak ada Ibu di sampingnya.
Malam itu, Andi sulit memejamkan mata. Bayangan buruk tentang sekolah dan orang-orang di sekolah, datang silih berganti di matanya. Bagaimana jika temanku mencubit atau menendang? Bagaimana jika aku tidak dibagi mainan? Bagaimana jika guruku jahat? Jika jatuh, siapa yang menolong? Pertanyaan tanpa ada jawaban itu akhirnya ia bawa ke dalam mimpinya.
Berani karena Benar
Karya: Esti
“Uh, harus ketemu dia lagi.” Chacha bergumam sambil merapikan kerudungnya di depan cermin. Gerakannya tampak kurang semangat, tak ada ceria di wajahnya.
“Kak, Bu Pur sudah jemput, tuh. Yuk, segera!” Bunda mengingatkan dari depan pintu kamar.
“Ya, Bun.” Chacha menjawab lirih.
“Apakah semua sudah oke? Smile!” Bunda mengingatkan sambil menyemangati.
Chacha mengangguk dan berusaha tersenyum meski terasa hambar. Walaupun tampak enggan, Chacha tetap meraih tasnya dan pamit. Melambaikan tangan dari jendela mobil jemputan hingga menghilang di balik tikungan.
Baru dua pekan mereka tinggal di kota ini. Chacha masih beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman barunya.
“Ah, kalau saja Ayah masih tugas di tempat lama. Aku masih bisa bermain dengan teman-teman yang baik dan asyik. Tidak seperti di sini. Uh ….” Chacha menghela napas sambil mengamati sibuknya lalu-lalang kendaraan.
Hanif Takut Petir
Karya: Hani Arafah
Sore itu, Hanif, anak laki-laki berusia 3 tahun sedang asyik bermain bola bersama teman sebayanya. Namun, tiba-tiba hujan datang. Mama pun segera menyuruhnya pulang.
“Hanif, ayo pulang. Hujan-hujanan tidak baik untuk kesehatanmu, Sayang. Nanti sakit, lho.”
“Enggak mau. Aku mau main, Ma!”
Mengingat Hanif tetap tidak mau pulang, mamanya kembali menghampiri Hanif yang masih asyik bermain bersama teman-teman sambil memegang payung warna-warni.
“Hujan, Sayang. Nanti kamu sakit, lho. Pulang, yuk!” ajak mamanya. “Yang lain juga pulang, ya. Besok bisa main lagi,” kata mama Hanif kepada teman-temannya.
“Anak Mama yang saleh, Mama sudah siapkan makanan kesukaanmu. Ada nugget sama telur. Kamu mau makan sama apa, Sayang?” Mamanya mengusap kepala Hanif lembut.
Petualangan si Egi
Karya: Kiki Lie
Di pohon besar di puncak bukit yang tinggi dan terjal, terdapat sarang keluarga rajawali.
“Egi, Egi.” Mama memanggil sambil menepuk-nepuk punggung Egi yang masih bermalas-malasan di sarang. “Ayo bangun, Nak. Sudah waktunya kamu belajar terbang.”
“Hooamm, masih ngantuk, Ma,” jawab Egi.
Egi sudah berumur 6 bulan. Otot-otot sayapnya sudah cukup kuat untuk belajar terbang. Bulu-bulu halusnya pun sudah mulai berganti. Egi berharap ia bisa tinggal nyaman di dalam sarang daripada harus berlatih terbang.
“Ayo, bangun. Nanti Papa marah lihat kamu masih bermalas-malasan,” kata Mama. “Mama tahu sebenarnya kamu takut, kan?”
“Hehe, iya, Ma.” Egi malu-malu menjawab.
“Ayo, tidak usah takut. Mama akan jaga kamu, kok,” ucap Mama.
Mama terbang agak tinggi di sekitar sarang mereka. Egi pikir, Mama sedang memberikan contoh cara terbang yang benar, tetapi dugaan Egi salah. Mama berbalik arah dan mengguncang-gungcang sarang mereka.
Chiko Terbang
Karya: Kiki Lie
Chiki dan Chiko adalah dua ekor anak ayam putih bersaudara. Chiki ayam betina, sedangkan Chiko ayam jantan. Mereka tinggal di sebuah peternakan ayam di Desa Sabio.
Sore itu, Chiko menatap jauh ke atas memperhatikan Egi latihan. Ia kagum pada keahlian keluarga rajawali terbang tinggi. Aku harus bisa terbang seperti mereka, aku ingin sekali melihat dunia, pikirnya.
“Ko, kenapa termenung?” tanya Chiki.
“Em, aku mau bisa terbang, Ki,” jawab Chiko ragu. Ia tahu Chiki pasti akan menentang keinginannya.
Anak Cabe Rawit
Karya: Bobby Sidqillah
Hari ini waktunya pembuktianku, tepat di mana harus mengukir sejarah dalam hidup. Pilihannya hanya dua, yaitu menjadi sang juara atau menjadi pecundang. Hari ini akan menjadi pembuktian setelah sekian lama aku dan teman-teman berlatih mengasah kemampuan tim kami untuk menyambut kemenangan di hari esok. Terpaan demi terpaan selalu menghantam tak kenal lelah, bahkan jiwa kami terasah dengan sendirinya. Kami adalah tim futsal kecil dari sekolah dasar di pelosok desa, tetapi bukan berarti kami tak boleh bersaing di tingkat kota.
Aku mempersiapkan barang-barang, mulai dari sepatu, kaus, sarung tangan, hingga obat-obatan kumasukkan pada tas sebagai bekal persiapan nanti. Tak lupa kuminta doa restu Ibu dan Bapak agar aku bisa menang dalam pertandingan final nanti. Terdegar suara mobil sekolah sudah sampai di depan rumah, aku segera bergegas keluar dan berpamitan kepada kedua orang tua.
Merengkuh Asa
Karya: Nur Suciati, S.Pd
Setiap pagi, aku begitu senang karena melihat anakku yang selalu semangat dan ceria berangkat sekolah. Walau masih dikategorikan kecil karena usianya baru 5,5 tahun dan sekolah di TK A, dia sudah pandai bercerita. Setiap pagi setelah bangun tidur, anakku sering bercerita tentang kegiatan yang akan dilakukan di sekolah.
“Aku sangat senang bersekolah, Bunda.”
“Kenapa?” Aku balik bertanya.
“Karena di sekolah, aku bisa bertemu dengan teman-teman dan ustazahku. Aku bisa bermain tebak-tebakan, bermain petak umpet, bermain perosotan, bermain ayunan, dan yang lainnya.”
Selain itu, dia juga terkadang izin membawa barang miliknya ke sekolah. Misalnya saja saat ingin membawa buku dan alat mewarnai. Tentu saja aku izinkan asal mewarnainya dilakukan pada saat selesai belajar dengan ustazahnya.
Kecil-kecil Pemberani
Anak laki-laki berusia 6 tahun itu rajin membantu ibunya. Abian hanya tinggal bersama ibu dan seorang adik perempuan yang berusia 3 tahun. Walaupun belum sekolah, dia rajin pergi ke musala untuk belajar mengaji. Ibunya membuat kue dan keripik pisang atau singkong untuk dijual. Abian sudah terbiasa membantu ibunya memasukkan keripik yang sudah matang ke plastik.
***
Malam itu, Andi sulit memejamkan mata. Bayangan buruk tentang sekolah dan orang-orang di sekolah, datang silih berganti di matanya. Bagaimana jika temanku mencubit atau menendang? Bagaimana jika aku tidak dibagi mainan? Bagaimana jika guruku jahat? Jika jatuh, siapa yang menolong? Pertanyaan tanpa ada jawaban itu akhirnya ia bawa ke dalam mimpinya.
Bagaimana ya kisah Abian, Andi, juga cerita-cerita lainnya. Yuk, baca kisah-kisah inspirasi dan istimewa dalam buku ini!
Untuk pemesanan buku silakan kontak penerbit Mikro Media Teknologi di 0813-1083-2071, buku-buku Mikro Media Teknologi juga tersedia di google play book.
Salam Inspirasi
Subscribe Our Newsletter
Posting Komentar