Review Buku Sang Pemenang
www.mikromediateknologi.com - Bismilllah, mendidik anak memang tidak bisa disamarakatakan. Orang tua harus mengenal anak-anak lebih dekat dan dengan cara yang tepat untuk pendidikannya. Semua orang tua punya harapan yang terbaik untuk anak. Yuk, baca kisah-kisah luar biasa dari orang tua murid SDIT Harapan Umat Jember
Buku Sang Pemenang
Mengenal Waktu dan Cara Belajar Terbaik bagi Ananda
Karya: Abu Khoiri
Alhamdulillah, kalimat ini adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan rasa syukur karena ananda tumbuh dan berkembang di lingkungan sekolah dasar yang dapat memadukan antara kecerdasan berpikir dan kematangan bersikap dengan konsep full day school. Sekolah yang dapat mengintegrasikan antara pendidikan agama dan umum, serta mengenalkan kehidupan sosial bagi ananda. Terlebih ananda juga masuk di kelas khusus tahfiz (menghafal) Al-Qur’an. Target kurikulum dengan berbagai aktivitasnya, mulai dari membaca, mengerjakan tugas, praktik, dan yang pasti adalah menghafal Al-Qur’an sudah biasa mewarnai hari-hari ananda.
Percakapan kecil setiap berangkat dan pulang sekolah menjadi ajang curahan hati ananda untuk melampiaskan rasa senang maupun galau selama di sekolah. Tergambar ekspresi semangat maupun sedih sesuai dengan jalan cerita selama di sekolah. Sebagian besar cerita tentang hal-hal yang menyenangkan, meski kadang terselip cerita yang membuatnya kecewa. Semua mengalir secara alami dan selalu menjadi situasi yang saya rindukan. Sebagai orang tua, tentunya kejujuran ananda menceritakan apa pun yang dirasakannya menjadi sarana untuk lebih mempererat hubungan anak dan orang tua, sekaligus dapat memantau proses pembelajaran yang dilaluinya.
Ujian Menerpa, Allah Selalu Ada
Karya: Sri Herningsih
Ayah adalah sosok yang tidak terlalu banyak bicara. Sebagai pemimpin keluarga, ia ingin menjadi panutan untuk anak-anaknya. Sebagian ayah mungkin tak pernah mengucapkan rasa cintanya, tetapi ayah yang aku miliki hatinya tulus demi keluarga. Dari pagi hingga malam, Ayah banting tulang. Kucuran keringat dan segala masalah tak pernah ia adukan pada kami, keluarga yang selalu mencintainya sepenuh hati. Namun, segalanya berubah setelah Ayah meninggal. Pada hari Ayah menutup mata, dunia seakan runtuh. Tangan yang penuh kasih sayang tak akan bisa lagi aku genggam. Kini sosok “superhero” itu selamanya pergi dari pandangan. Raut wajah serius saat memberi petuah pun tak akan pernah terlihat lagi.
Meskipun sosoknya telah tiada, aku tidak pernah putus mendoakan Ayah. Segala pengorbanan yang telah Ayah lakukan selalu kuingat. Selain dari doa dan perbuatan, aku mencurahkan segala perilaku untuk bekal Ayah menghadap Sang Khalik. Aku harus menjadi anak yang salihah dan rajin beribadah. Itu adalah pesan mendiang ayahku saat beliau masih sehat.
Anakku Pengendali Hawa Nafsuku
Karya: Eliana
(Disclaimer: Tulisan ini saya buat atas dasar pengalaman pribadi)
Sudah menjadi fitrah manusia khususnya perempuan terlahir di dunia memiliki hawa nafsu. Sebagai perempuan yang memiliki pekerjaan dan penghasilan, saya juga memiliki nafsu untuk meraih dan memenuhi apa pun yang saya inginkan. Menghabiskan uang dan waktu untuk bersenang-senang bersama teman adalah hal biasa. Berbelanja barang yang terkadang tidak dibutuhkan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa saya mampu menjadi kebanggaan. Mengunjungi tempat keramaian, duduk dan bercengkerama di kafe tanpa kenal waktu menjadi sebuah rutinitas. Banyak perilaku tak berfaedah yang sering dilakukan sebelum menikah dan memiliki anak.
Peristiwa besar yang mengubah pandangan dan cara hidup lebih terkendali adalah kelahiran dan kematian anak saya. Peristiwa pertama yaitu kelahiran anak yang secara langsung mengubah pola hidup. Kebiasaan menghabiskan uang untuk berbelanja barang yang tidak perlu berganti menjadi prioritas untuk kebutuhan anak, membeli susu, diaper, kebutuhan makanan, dan untuk tabungan masa depan anak. Tidak ada lagi waktu untuk sekadar mengobrol bersama teman walaupun sesaat. Semua waktu terfokus untuk mencurahkan perhatian dan memantau tumbuh kembang anak.
Sang Nenek Tangguh
Karya: Ummu Nisa
Pagi itu, seperti biasa aku melangkah ke ruang rawat jalan karena memang sedang sif bekerja di rawat jalan setelah 1 pekan bekerja di sif UGD dan rawat inap. Perawat memanggil pasien yang sudah mengantre dan masuklah seorang nenek bersama seorang remaja.
“Selamat pagi. Siapa yang sakit, Mbah? Njenengan atau cucunya?” tanyaku.
Si Nenek menjawab dengan kata-kata yang sulit aku mengerti, karena beliau berbicara dengan bahasa Madura yang aku belum paham. Memang sejak pindah ke Jember 5 tahun yang lalu sampai sekarang, aku hanya paham beberapa kosakata bahasa Madura saja, seperti plengen, gentang, dan tedung. Ya, baru kata-kata minimalis seperti itu.
“Mbah, apakah njenengan bisa berbahasa Jawa atau bahasa Indonesia?” tanyaku lagi.
Menguras Perasaan
Karya: Wahyu MP
Kadang kita harus jauh agar tahu arti dekat, baik, dan buruk apa saja yang terjadi. Boleh sedih karena berjauhan, tetapi jangan meratapi jika rindu berdekatan telah menguras perasaan.
Aku adalah seseorang yang ditakdirkan untuk berjauhan dengan Ibu. Jarak tempat tinggal kami bukan antardesa atau antarkota, melainkan antarpulau. Butuh waktu berhari-hari untuk melihat wajah Ibu. Sering kali, rindu datang tiba-tiba, tidak memberi tahu atau memberi aba-aba. Tidak berjumpa dalam waktu yang lama membuat hati mengundang rindu semaunya.
Menebar Kebaikan, Menuai Keberkahan
Karya: Sri Herningsih
Sebagian besar manusia pasti berkeinginan untuk menjadi manusia terbaik di hadapan Sang Ilahi. Ini adalah sebuah pernyataan yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun, apakah setiap dari kita sudah bersiap untuk mencapai hal tersebut? Tentu saja semua dalam proses menuju hal yang terbaik atau mungkin ada yang masih abai.
Berkaitan dengan hal ini, sebagian orang pasti ingin berbondong-bondong menggapai kebaikan ataupun berusaha menjadi orang yang senantiasa memberikan manfaat. Sayangnya, tidak semua orang mampu melakukannya karena kurang ikhlas atau bahkan malah masih mementingkan diri sendiri.
Baca Bukuku, Yuk!
Karya: Emma Dhamayanti
Kami memiliki seorang putri bernama Zahwa Aqila Melia Muzi yang biasa disapa Lila. Putri kami dari kecil menyukai menggambar, bahkan saat menginjak sekolah dasar di buku-buku sekolahnya penuh dengan gambar. Rupanya jika selesai mengerjakan tugas dia tidak suka jika hanya diam, karena memang anak visual (hasil tes MIR).
Sebenarnya kami sudah berusaha untuk menyediakan buku gambar dan kertas HVS agar dia bisa menggambar di sana, tetapi tetap saja buku sekolahnya tidak pernah bersih dari gambar-gambar. Jika dilihat-lihat gambarnya memang bagus. Jadi, kami masukkan ke sebuah kursus gambar yang memiliki program khusus selama 10 sesi. Di sana diajarkan teori-teori menggambar untuk anak kecil dan pada akhirnya ada pameran hasil karya pesertanya.
Masa Lalu Orang Tua sebagai Role Model Anak
Karya: Isti Wahyuti
Tidak pernah terpikirkan dalam benakku bahwa pandemi Covid-19 akan mengubah seluruh sendi kehidupan manusia secara cepat. Sektor pendidikan merupakan salah satu bidang paling terpengaruh oleh pandemi ini. Keceriaan masa sekolah anak-anak harus terenggut seketika. Kehidupan sosial anak menjadi sangat terbatas. Secara perlahan dan pasti, anak-anak harus mengakrabi gadget yang sesungguhnya belum waktunya menjadi bagian dalam keseharian mereka.
Kondisi akan semakin berat dirasakan oleh pada orang tua yang berkarier di luar rumah. Terlebih untuk perempuan pekerja yang tidak bisa melaksanakan kerja dari rumah (work from home). Hal ini juga yang kurasakan. Sebagai karyawati perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perkebunan, keseharianku banyak berada di lapangan. Hal ini pula yang membuat kami harus bekerja di kantor.
Si Bungsu yang Tangguh dan Tak Pernah Mengeluh
Karya: Eko Andriyani
Ramadan tahun ini pengalaman tersendiri untuk Mbak Syasya. Tiga tahun terakhir yang nyaris tidak pernah absen puasa kali ini hanya dijalani 10 (sepuluh) hari pertama Ramadan. Ada ujian lain yang harus dijalani Mbak Syasya dan harus kehilangan momen yang ditunggu-tunggu sebagian besar umat Islam. Pada saat sebagian besar umat Islam berbondong-bondong ke masjid untuk menjalani salat tarawih, qiamulail, dan iktikaf, Mbak Syasya harus terbaring di rumah sakit sambil menjalani perawatan dokter untuk penyembuhan demam typhoid. Alhamdulillah, tepat hari lebaran akhirnya Mbak Syasya juga turut merayakan kemenangan dengan izin Allah disembuhkan dari penyakitnya. Kesabaran, ketangguhan, dan daya juang melawan rasa sakitnya menurut kami adalah bentuk kemandirian dari Mbak Syasya.
Berseminya Bibit Ikhlas dari Masa Lalu
Karya: Orang Tua Raina
Seperti biasa ketika Ramadan tiba, hal yang paling aku tunggu adalah salat tarawih bersama di Masjid Baitul Hamdi yang tak jauh dari rumah. Bersama teman-teman seusia, kami berangkat salat tak lama setelah waktu berbuka. Meski belum berkumandang azan, kami sudah lebih dulu berangkat dan membawa sebuah buku untuk minta tanda tangan dari imam masjid sepulangnya nanti.
Sepulang dari masjid, Ibu selalu memintaku membuka Al-Qur’an untuk membaca semampu mungkin walau hanya beberapa ayat. Aku ingat betul, ketika itu sudah kelas 6 sekolah dasar. Mengingat Ayah ingin sekali anaknya memiliki pemahaman agama yang baik, maka aku sekolah di salah satu SD Islam ternama saat itu. Maka tidak jarang kebiasaan kami ketika Ramadan saat itu selalu hidup setiap harinya.
Doa yang Terkabul
Karya: Khairan Razin Prajana
(Kelas 1 Utsman)
Ai adalah siswa kelas 1 SDIT Harapan Umat Jember, karena masa pandemi maka Ai belum pernah pergi ke sekolah. Ai hanya bertemu Ibu Guru dan teman-teman melalui layar ponsel. Sekolah dilakukan secara online dengan aplikasi Zoom atau Google Form. Hari ini adalah jadwal mengumpulkan tugas sekolah dan mengambil materi baru. Beruntung Ai ditemani Mas Ichang pergi ke sekolah.
Setelah mengantar Ai ke kelasnya, Mas Ichang pun menuju ruang kelas VI untuk menerima materi dari Pak Guru. Tak lupa dia berpesan kepada sang adik agar menunggunya di kelas selepas kegiatan.
Indahnya Ramadanku, Indahnya Masa Kecilku
Karya: Bunda Warda
Saat kudengar dentuman petasan setiap menjelang bulan suci Ramadan, ada perasaan tidak suka, jengkel, bahkan kadang hampir marah dengan suaranya yang memekakkan telinga. Kerasnya suara letusan yang datang tiba-tiba itu, sering kali membuat orang yang sedang berjalan, asyik membaca, santai mengobrol, atau sedang berusaha khusyuk dalam salat kaget karenanya. Namun, kadang tersenyum saat teringat bahwa aku pernah berulah seperti mereka. Ya, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, aku juga berjualan petasan, lho. Jangan ditiru, ya.
Saat itu aku belum tahu kalau main petasan itu tidak baik, menyia-nyiakan uang. Aku belum paham kalau ternyata banyak korban karena petasan. Ada yang kulit tangannya terbakar, tulangnya retak, bahkan ada yang jari-jari tanganya putus. Duh, ngeri! Petasan kadang meledak terlalu dini sebelum sempat dilempar. Sungguh, itu sangat berbahaya. Konyol sekali orang yang suka bermain, apalagi berjualan petasan.
Bermimpi Setinggi Langit
Karya: Krisnawati Diyah
Aku mengusap wajah dengan kedua tangan dan mengucap syukur tanpa henti. Air mataku berlinang tanpa bisa dibendung sejak berangkat dari tanah air. Akhirnya hari ini aku bisa bersimpuh di depan Ka’bah. Terbayang semua perjuangan yang harus ditempuh untuk bisa sampai di sini.
Impian dan cita-cita sejak kecil bahwa setelah bekerja dan menerima gaji nanti ingin pergi ke Baitullah. Salah satu hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan mimpi indah itu hanyalah dengan berdoa meminta kepada Allah Swt. dan dengan ikhtiar berjuang melawan hawa nafsu dan mengendalikan diri agar selalu semangat mengejar cita-cita menjadi orang yang bisa dibanggakan dan sukses.
Catatan Harian Seorang Bunda
Karya: Endah Sulistyawati, S.S.
Saya berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah menengah kejuruan. Menjadi seorang abdi negara dengan jarak tempuh dari kota tempat tinggal menuju sekolah tempat mengabdi bukanlah hal yang mudah bagi seorang ibu seperti saya ini. Dua puluh delapan kilometer bukanlah jarak yang dekat.
Sebenarnya menjadi seorang guru bukanlah cita-cita saya. Saya melihat dan memaknai bahwa guru merupakan profesi yang sangat berat dalam urusan moral dan tanggung jawab. Mendidik anak bukan perkara mudah, apalagi mendidik sekian ribu putra dan putri dengan latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Takdir berkata lain, Allah menuntun langkah saya untuk menjadi seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah yang berada di pinggir Kota Bondowoso.
Jalan Panjang Perjuangan Ibadah di Benua Biru
Karya: Nur Semesta Indah
Sebagai penyuka sepak bola dan kegilaan yang ada di dalamnya, tentu saya akan membuat tulisan yang tidak jauh dari hal itu. Inggris—dengan gemerlap Liga Primer-nya—sungguh seksi untuk dibahas. Sangat sayang untuk ditinggalkan begitu saja. Meski saya belum pernah ke Inggris dan tidak ada rencana (atau keinginan) pergi ke sana.
Saya menulis ini di tengah ritual puasa yang sedang saya jalani. Beruntung sekali, muslim di Indonesia adalah mayoritas, sehingga jamak terlihat masjid dan sering mendengar azan. Bukan hanya itu, saat ini kita berpuasa sekitar 12–13 jam. Sangat berbeda dengan muslim di Eropa sulit melihat masjid atau musala dan harus melakukan puasa selama 16–18 jam. Waw!
Merajut Kembali Kemandirian
Karya: Amri Wibowo
Alhamdulilah, allahuakbar akhirnya hari ini Senin 4 November 2019 Eta berani kembali sekolah meski saya dan adik yang masih dalam kandungan harus menemani di dalam kelas. Saya duduk di kursi dekat pintu keluar, sesekali Eta melihat dan saya berikan senyum sekaligus acungan jempol. Selain itu, beberapa kali pula Eta masih menutup telinga, tetapi alhamdulillah teman-temannya sudah terbiasa dan tidak banyak bertanya.
Demikian berjalan 1–2 hari, selanjutnya saya mulai mencoba menunggu di luar kelas, di bangku sebelah meja untuk menata makan siang. Hari berikutnya saya menunggu di UKS, bisa salat Duha di sana dan sekadar duduk bersandar pada kasur UKS. Alhamdulilah adik dalam perut sudah mulai aktif bergerak, tidak mual muntah lagi. Eta juga sudah mulai berani salat Zuhur jemaah dengan teman-teman meski sesekali masih menutup telinga. Sebelumnya Eta minta salat Zuhur jemaah dengan saya di UKS.
Celoteh Areta
Karya: Areta
Sejak bersekolah di rumah, aku jadi punya banyak waktu luang dengan Bapak, Ibu, dan adikku. Aku bisa membantu mereka kapan pun mereka butuh.
Salah satunya aku bisa membantu Ibu memasak. Untuk memasak, pastinya harus bisa menyalakan dan mematikan kompor. Setiap melihat Ibu bisa memasak macam-macam, karena bisa menyalakan dan mematikan kompor, aku jadi semakin ingin tahu caranya. Namun, setiap mencobanya, aku selalu takut meski Ibu menemaniku. Jadi, aku mencoba untuk belajar mematikan kompor dulu.
Mandiri Tanpa Ummi
Karya: Asmak Afriliana
Namanya adalah Fakhira, anak sulungku. Sejak kelahirannya, ia sangat istimewa. Kakeknya sering memanggilnya Mutiara Fakhira, meski namanya hanya Fakhira. Lambat laun, aku pun setuju dengan panggilan itu. Fakhira seperti mutiara yang bersinar, indah, dan istimewa untuk kami semua. Terutama bagiku, ibunya. Ada banyak sekali kenangan indah bersamanya ketika kecil. Hingga sekarang di usianya yang hampir 9 tahun, ia selalu menghadirkan banyak momen luar biasa bersama kami. Aku percaya, setiap anak sangatlah istimewa. Hadiah dan amanah dari Sang Mahakuasa yang mesti kami jaga dan didik semaksimal mungkin. Sebab, mereka adalah investasi dunia akhirat.
Setiap orang tua pasti menginginkan memiliki anak yang saleh. Anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya menjadi garansi tidak terputusnya pahala orang tua meskipun mereka sudah meninggal dunia.
Saat Berada di Titik Nadir
Karya: Nurhayati ‘Azis
Semilir angin kemarau sore ini, membuat badan kurusku menggigil. Hawa dinginnya membuat perasaanku membaik. Kucium berkali-kali kepala laki-laki kecil di depanku. Masih terngiang-ngiang ucapan teknisi Alat bantu Dengar (ABD) Dhafin saat menelepon semalam. Ya, alat bantu dengar berharga belasan juta itu sudah selesai dan harus segera diambil.
Atas saran dari terapisnya, sebulan yang lalu aku membawa si sulung ke poli THT di Rumah Sakit Dokter Soetomo. Berdasarkan hasil assessment, kapasitas pendengaran Dhafin— sulung kami—didiagnosis berada di batas ambang antara berat dan sangat berat.
Ketika Hanya Bergantung pada-Nya
Karya: Prastin Maulana/Anton Dwi Pribadi
Suasana cerah di pantai kala itu, angin kencang menyapu rambut keriwilnya. Aku mengikat rambutnya supaya tidak menghalangi saat bermain pasir dengan ayahnya. Sudah beberapa puluh menit kami sampai di pantai, tetapi muka anak sulungku tidak seceria di kala dia memasuki area pantai.
Jadi, kuputuskan untuk bertanya kepadanya, “Hauraa, kenapa? Panas? Mau pulang aja? Kok dari tadi nggak senyum? Mukanya kok gitu?”
Medali Pertama Ahnaf Zacky
Karya: Mamik Islami
Perasaan bahagia, haru, dan hampir tidak percaya bercampur aduk saat mendapat informasi melalui grup WhatsApp bahwa Ahnaf lolos babak penyisihan dan berhak mengikuti grandfinal Olimpiade Matematika Tingkat SD/MI se-Jawa Timur. Awal tahun 2020 menjadi momentum Ahnaf masuk babak final lomba Matematika.
Sejak terpilih mengikuti pembinaan Matematika di kelas dua dan mengikuti berbagai event lomba, baru kali ini lolos ke babak final. Ahnaf masuk babak grandfinal bersama Harist untuk jenjang kelas 3 SD dan Fara pada jenjang kelas 2 SD.
Yuk, jadikan buku Sang Pemanang ini ada di rak-rak perpustakaan rumah dan sekolah serta masyarakat. Bacaan baik untuk keluarga Indonesia. Untuk pemesanan bisa kontak ke WhatsApp penerbit di 0813-1083-2071
Salam Inspirasi
Subscribe Our Newsletter
Posting Komentar